Hukum Mengambil Upah Dari Pengajaran Agama

Oleh:

Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy

Adapun masalah meminta upah karena mengajarkan Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama yang lainnya, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم telah membolehkannya (dengan celaan, kecuali jika kondisinya memang butuh uang, sebagaimana akan datang penyebutan dalil-dalil tentang itu insya Alloh).

Akan tetapi yang Alloh pilihkan untuk para Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام itu adalah kondisi yang lebih sempurna, pahala yang lebih banyak, dan barokah yang lebih besar dalam dakwah, yaitu tidak meminta upah atas dakwah Islamiyyah ini. Dan pada mereka ada teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Alloh dan Hari Akhir dan banyak mengingat Alloh.

Dalil tentang dibolehkannya minta upah tadi adalah hadits-hadits tentang upah ruqyah yang telah berlalu penyebutannya.

Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله setelah menyebutkan hadits-hadits tersebut, beliau berkata: “Dan jika mengambil pemberian tadi adalah boleh, maka boleh juga mengambil upah, karena upah itu masuk dalam makna pemberian. Dan juga karena boleh seseorang itu mengambil rizqi dari baitul mal karena pengajaran, maka boleh pula mengambil upah karenanya, sebagaimana membangun masjid-masjid dan jembatan-jembatan. Dan juga karena kebutuhan itu menuntut untuk mengambil upah, karena dibutuhkan adanya perwakilan dalam menghajikan orang yang wajib untuk berhaji tapi tidak sanggup melakukannya, dan hampir-hampir tidak didapatkan orang yang mau sukarela melakukan itu tanpa upah, sehingga diperlukan mencurahkan upah untuk itu.” (“Al Mughni”/6/hal. 143).

Dalil-Dalil yang Lain: Dari Sahl bin Sa’d رضي الله عنهما yang berkata:

أتت النبي صلى الله عليه وسلم امرأة فقالت: يا رسول الله أهب لك نفسي. فنظر إليها رسول صلى الله عليه و سلم فصعد النظر فيها وصوبه ثم طأطأ رسول الله صلى الله عليه و سلم رأسه. فلما رأت المرأة أنه لم يقض فيها شيئاً جلست. فقام رجل من أصحابه فقال: يا رسول الله إن لم يكن لك بها حاجة فزوجنيها. فقال: «فهل عندك من شيء ؟». فقال: لا والله يا رسول الله. فقال: «اذهب إلى أهلك فانظر هل تجد شيئا ؟». فذهب ثم رجع فقال: لا والله ما وجدت شيئاً. فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «انظر ولو خاتم من حديد». فذهب ثم رجع فقال: لا والله يا رسول الله ولا خاتم من حديد. ولكن هذا إزاري ( قال سهل ما له رداء ) فلها نصفه. فقال رسول الله: «ما تصنع بإزارك إن لبسته لم يكن عليها منه شيء وإن لبسته لم يكن عليك منه شيء». فجلس الرجل حتى إذا طال مجلسه قام. فرآه رسول الله صلى الله عليه و سلم مولياً، فأمر به فدعي. فلما جاء قال: «ماذا معك من القرآن ؟» قال: معي سورة كذا وكذا ( عددها ). فقال: «تقرؤهن عن ظهر قلبك ؟». قال: نعم. قال: «اذهب فقد ملكتها بما معك من القرآن».

“Ada seorang wanita mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya memberikan diri saya untuk Anda.” Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihat kepadanya, memandang ke atas dan ke bawahnya, kemudian Rosululloh صلى الله عليه وسلم menundukkan pandangan beliau. Manakala wanita itu melihat bahwasanya beliau tidak memberikan suatu keputusan, duduklah dia. Maka berdirilah seseorang dari Shohabat beliau seraya berkata: “Wahai Rosululloh, jika Anda tidak punya hajat kepadanya, nikahkanlah saya dengannya.” Maka beliau bertanya: “Apakah engkau punya sesuatu?” Dia menjawab: “Demi Alloh, tidak wahai Rosululloh.” Maka beliau bersabda: “Pergilah ke keluargamu dan lihatlah apakah engkau mendapati sesuatu.” Maka pergilah dia lalu dia datang lagi seraya berkata.” Demi Alloh saya tidak mendapatkan sesuatu.” Maka Rosululloh bersabda: “Lihatlah, sekalipun cincin dari besi.” Maka pergilah dia lalu dia datang lagi seraya berkata.” Demi Alloh wahai Rosululloh, saya tidak mendapatkan walaupun cincin besi. Tapi ini sarung saya.” Sahl berkata: “Dia tidak punya selendang.” Dia berkata: “Wanita ini akan saya beri setengah dari sarung ini.” Maka Rosululloh bersabda: “Apa yang akan engkau perbuat dengan sarungmu? Jika engkau memakainya, wanita ini tak bisa memakainya sedikitpun. Jika dia memakainya, engkau tak bisa memakainya sedikitpun.” Maka pria tadi duduk. Sampai ketika majelisnya telah berlangsung lama, diapun bangkit. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melihatnya pergi, lalu beliau memerintahkan agar dia dipanggil kembali. Ketika dia datang, beliau bertanya: “Apa yang engkau miliki dari Al Qur’an?”Dia menjawab: “Saya punya surat ini dan itu.” Dia menghitungnya. Beliau bertanya: “Engkau bisa membacanya secara hapalan?”Dia menjawab: “Iya.” Beliau bersabda: “Pergilah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, dengan Al Qur’an yang engkau hapal.” (HR. Al Bukhoriy (5029) dan Muslim (1425)).

Dan dalam satu riwayat: “Berangkatlah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah dia Al Qur’an.” (HR. Muslim (1425)).

Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan dalam hadits ini ada dalil bolehnya mengambil upah karena mengajarkan Al Qur’an, dan mengambil ganti (upah juga) karena telah menunaikan pengajaran tadi, dan yang semisal itu, karena jika pengajaran Al Qur’an boleh menjadi mahar, boleh juga untuk mengambil ganti dari setiap perkara yang bisa diambil manfaatnya. Dan ini adalah madzhab Malik, Asy Syafi’iy, Abu Tsaur, Ahmad dan Dawud.

Dan di antara hujjah mereka adalah hadits Abu Sa’id Al Khudriy –lalu beliau menyebutkan hadits ruqyah, sampai pada ucapan beliau:- Abu Hanifah dan pengikutnya berkata: “Tidak boleh mengambil upah atas pengajaran Al Qur’an. Setiap orang yang ditanya tentang Al Qur’an sedikit saja, dia harus membacakannya dan mengajarkannya bagi orang yang memintanya. Kecuali jika dia terkena dhoruroh dan tersibukkan dari mata pencahariannya.” Dan mereka beralasan dengan hadits-hadits marfu’ yang semuanya itu lemah.” (selesai dari “Al Istidzkar”/5/hal. 416-417).

Al Imam Ibnu Qudamah رحمه اللهketika menyebutkan perselisihan tentang upah mengajar, beliau berkata: “Dan Abu Tholib menukilkan dari Ahmad bahwasanya beliau berkata: “Mengajar itu lebih aku sukai daripada dia bersandar pada para penguasa itu, dan daripada dia bersandar pada seseorang dari keumuman manusia dalam suatu mata pencaharian, dan daripada dia berutang dan berdagang, karena bisa jadi dia tak sanggup menunaikannya sehingga dia berjumpa dengan Alloh ta’ala dengan memikul amanah-amanah manusia. Mengajar itu lebih aku sukai.” Dan ini menunjukkan bahwasanya larangan Al Imam Ahmad (dalam riwayat yang lain) adalah untuk kemakruhan, bukan untuk pengharoman.

Dan termasuk yang membolehkan itu adalah Malik dan Asy Syafi’iy. Abu Qilabah, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir juga memberikan keringanan dalam upah para pengajar karena Rosululloh صلى الله عليه وسلم menikahkan seseorang dengan Al Qur’an yang dia hapal. Riwayat Al Bukhoriy dan Muslim. Jika boleh pengajaran Al Qur’an sebagai ganti (upah) dalam bab pernikahan dan menduduki posisi mahar, boleh juga mengambil upah karena pengajarkan All Qur’an dalam bab persewaan.” (selesai dari “Al Mughni”/6/hal. 143).

Ahmad bin Umar Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Dan hadits ini merupakan bantahan terhadap Abu Hanifah yang melarang mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an. Dan yang membantah dia juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:

«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».

 “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)). (selesai dari “Al Mufhim”/4/hal. 13).

Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada dalil untuk bolehnya pengajaran Al Qur’an itu sebagai mahar, dan bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an, dan dua perkara ini boleh menurut Asy Syafi’iy. Dan ini juga pendapat Atho, Al Hasan bin Sholih, Malik, Ishaq, dan yang lainnya. Sekelompok ulama melarangnya, di antaranya adalah Az Zuhriy dan Abu Hanifah. Hadits ini dan hadits shohih: “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh” membantah pendapat ulama yang melarang itu. Al Qodhi ‘Iyadh menukilkan dari seluruh ulama –selain Abu Hanifah- tentang bolehnya menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an.” (“Syarh Shohih Muslim”/9/hal. 214-215).

Az Zarqoniy رحمه الله berkata: “Dan di dalam hadits ini ada pembolehan mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dan Imam yang tiga (Malik, Asy syafi’iy dan Ahmad).” (“Syarh Muwaththo Malik”/Az Zarqoniy/5/hal. 468).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله ditanya: “Ada seorang alim dari ulama diminta untuk membacakan hadits-hadits Rosululloh صلى الله عليه وسلم dan ilmu-ilmu syariat yang lainnya. Maka dia tidak mau membacakannya kecuali dengan upah. Maka dikatakan padanya: “Telah diriwayatkan dari jalan Salaf dan para imam huda pengajaran ilmu dalam rangka mencari wajah Alloh Yang mulia yang kisah-kisah itu tidak tersembunyi dari orang yang berakal. Dan minta upah itu tidak pantas. Maka dia menjawab: “Aku membacakan ilmu tanpa upah? Harom bagiku membacakan ilmu tanpa upah.” Maka apakah ucapannya itu benar ataukah batil? Dan apakah dia itu bodoh dengan ucapannya bahwasanya dirinya punya udzur? Dan apakah boleh baginya untuk mengambil upah karena mengajarkan ilmu yang bermanfaat? Ataukah dimakruhkan?”

Maka Syaikhul Islam رحمه الله menjawab: “Segala pujian bagi Alloh. Adapun mengajarkan Al Qur’an dan ilmu tanpa upah, maka itu adalah amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Alloh. Dan ini termasuk perkara yang diketahui secara pasti dalam agama Islam. Bukanlah ini termasuk dari perkara yang tersembunyi dari orang yang tumbuh di negri-negri Islam. Para Shohabat, Tabi’un, dan Tabi’ut Tabi’un dan ulama yang lainyang terkenal di kalangan umat ini dengan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih, mereka itu dulu mengajar tanpa upah. Tidak ada di kalangan mereka pada asalnya yang mengajar dengan upah.

«فإن العلماء ورثة الأنبياء، وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما، وإنما ورثوا العلم، فمن أخذه فقد أخذ بحظ وافر».

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dirham ataupun dinar, akan tetapi mereka itu hanyalah mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang banyak.”[HR. Abu Dawud (3641) dan At Tirmidziy (2682), hasan lighoirih].

Dan para Nabi صلوات الله عليهم dulu hanyalah mengajarkan ilmu tanpa upah, sebagaimana ucapan Nuh عليه السلام:

﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،

 “Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”

Demikian pula Hud, Sholih, Syu’aib, Luth dan yang lainnya. Demikian pula Penutup para Rosul:

﴿قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين﴾ [ ص : 86 ] ،

 “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Dan bukanlah aku termasuk orang yang memberat-beratkan diri.”

Dan berfirman berkata:

﴿قل ما أسألكم عليه من أجر إلا من شاء أن يتخذ إلى ربه سبيلا﴾ [ الفرقان : 57 ] .

 “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Akan tetapi orang yang ingin mengambil jalan kepada Robbnya (dengan berinfaq di jalan Alloh, silakan berinfaq).”

Dan pengajaran Al Qur’an, Hadits dan Fiqh dan yang lainnya tanpa upah itu, para ulama tidak berselisih pendapat bahwasanya itu adalah amal sholih, lebih-lebih untuk menjadi mubah. Bahkan itu adalah fardhu kifayah, karena pengajaran ilmu yang dia jelaskan adalah fardhu kifayah, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits shohih:

«بلغوا عني ولو آية»

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Al Bukhoriy (3461) dari Abdulloh bin Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما].

Dan bersabda:

«ليبلغ الشاهد الغائب».

 “Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” [HR. Al Bukhoriy (67) dan Muslim (1679) dari Abu Bakroh رضي الله عنه].

Hanyalah para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya menyewa orang dalam mengajarkan Al Qur’an, Hadits dan Fiqh,ada dua pendapat yang terkenal, dan dua-duanya adalah riwayat dari Ahmad.

Yang pertama –dan itu adalah madzhab Abu Hanifah dan lainnya-: tidak boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi.

Yang kedua –dan itu adalah ucapan Asy Syafi’iy-: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi.

Dan ada pendapat ketiga dalam madzhab Ahmad: boleh menyewa untuk pengajaran itu tadi karena pengajarnya punya hajat, bukan orang yang kecukupan, sebagaimana firman Alloh ta’ala tentang wali anak yatim:

﴿ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل بالمعروف﴾ [ النساء : 6 ] .

 “Dan barangsiapa berkecukupan, maka hendaknya dia menjaga kehormatan (tidak memakan harta yatim), dan barangsiapa faqir maka hendaknya dia memakan dengan cara yang ma’ruf.”

Boleh para pengajar diberi dari harta muslimin karena mereka mengajar, sebagaimana para imam, muadzdzin dan hakim diberi upah. Hal itu boleh jika mereka punya hajat (bukan orang yang berkecukupan).

Apakah boleh pengajar yang berkecukupan itu mencari rizqi lewat pengajaran? Para ulama punya dua pendapat. Dan tidak ada seorangpun dari Muslimin yang berkata bahwasanya mengamalkan pengajaran tanpa upah itu tidak boleh.

Orang yang berkata bahwa mengajar tanpa upah itu tidak boleh, maka dia harus dituntut untuk bertobat, jika dia bertobat maka dia dibebaskan, dan jika tidak mau bertobat maka dia harus dibunuh. Tapi jika dia bermaksud dengan ucapannya tadi adalah karena dia itu faqir, dan jika dia mengajar tanpa upah itu maka dia tidak sanggup mencari nafkah untuk keluarganya, sementara mencari nafkah untuk keluarganya adalah fardhu ‘ain untuknya, maka dia tidak boleh meninggal fardhu ‘ain demi menjalankan perkara yang tidak fardhu ‘ain, dan dia bersamaan dengan itu dia meyakini bahwasanya mengajar dengan upah karena berhajat -atau mutlak tanpa hajat- itu boleh, maka orang ini berkata dengan penakwilan, maka dia tidak kafir dengan pendapatnya tadi, dan tidak menjadi fasiq dengan kesepakatan para ulama, bahkan bisa jadi dia itu benar atau keliru.

Dan sisi pendalilan para ulama tentang tidak bolehnya menyewa untuk manfaat amalan yang ini adalah: karena amalan-amalan ini merupakan amalan khusus, yang mana pelakunya adalah orang yang sedang mendekatkan diri kepada Alloh dengan mengajarkan Al Qur’an, Hadits dan Fiqih, menjadi imam sholat dan adzan. Tidak boleh amalan-amalan tadi dikerjakan oleh orang kafir. Tidak ada yang boleh mengerjakannya kecuali seorang Muslim. Berbeda dengan manfaat yang bisa dilakukan oleh muslim ataupun kafir, seperti membangun, menjahit, menenun, dan sebagainya. Jika dia melakukan suatu amalan dengan upah, tidak tersisa ibadah untuk Alloh, karena tinggallah dirinya itu berhak untuk mendapatkan upah, dipekerjakan dalam rangka upah. Dan amalan itu jika dilakukan karena upah, tidak tersisa padanya makna ibadah, seperti produksi-produksi yang dikerjakan dengan upah.

Maka ulama yang berpendapat tidak bolehnya menyewa dalam amalan-amalan ini, dia berkata: Tidak boleh melakukannya dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh, sebagaimana tidak boleh menjalankan sholat, puasa dan bacaan Qur’an dalam bentuk yang bukan ibadah untuk Alloh. Dan persewaan itu mengeluarkan amalan tadi dari bentuk ibadah untuk Alloh.

Ulama yang membolehkan persewaan dalam pengajaran berkata: pengajaran tadi merupakan suatu manfaat yang sampai kepada si penyewa, maka boleh si pengajarnya mengambil upah atas amalannya itu, seperti seluruh manfaat-manfaat yang lain. Jika ibadah tadi dalam kondisi seperti itu, dia tidak berjalan dalam bentuk ibadah, maka boleh melakukannya dalam bentuk ibadah dan sekaligus bukan dalam bentuk ibadah, karena di dalamnya ada manfaat (yang sampai kepada orang yang menyewa dia).

Dan ulama yang membedakan antara orang yang berhajat dengan orang yang tidak berhajat, dan inilah pendapat yang paling dekat (dengan kebenaran), beliau berkata: “Orang yang berhajat, jika dia mencari penghasilan dengan amalan-amalan tadi, bisa saja dia meniatkan amalannya untuk Alloh, dan dia mengambil upah untuk membantu ibadah dia, karena mencari nafkah untuk keluarga adalah wajib juga. Maka dia bisa menunaikan kewajiban-kewajiban dengan cara tadi. Ini berbeda dengan orang yang berkecukupan, karena dia tidak membutuhkan nafkah (dengan cara tadi), maka tiada hajat yang mengharuskan dia untuk melakukan amalan-amalan tadi untuk selain Alloh.” Dan seterusnya. (selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/30/hal. 204-207).

Al Imam Ibnu Baz رحمه الله ditanya: “Apa hukum mengambil upah dari mendidik murid untuk menghapal Al Qur’anul Karim, karena di tempat kami ada imam di desa kami yang mengambil upah dari mendidik anak-anak untuk menghapal Al Qur’an?”

Maka beliau رحمه الله menjawab: “Tidak mengapa mengambil upah untuk pengajaran Al Qur’an dan pengajaran ilmu, karena orang-orang membutuhkan pengajaran, dan karena si pengajar terkadang susah baginya mengajar sambil meninggalkan mata pencaharian demi mengajar. Maka jika dia mengambil upah untuk pengajaran Al Qur’an, penghapalan Al Qur’an dan pengajaran ilmu, maka yang benar adalah tidak mengapa baginya hal itu… lalu beliau menyebutkan hadits Abu Sa’id tentang ruqyah, lalu beliau berkata- dan Nabi tidak mengingkari mereka berbuat itu. Dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:

«إن أحقّ ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله».

 “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)).

Maka ini menunjukkan bahwasanya tidak mengapa mengambil upah dari pengajaran, sebagaimana tidak mengapa mengambil upah dari ruqyah.” (selesai dari “Majmu’ Fatawa Ibnu Baz”/5/hal. 364-365).

Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata tentang menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an: “Dan pendapat yang kuat adalah bahwasanya itu tidak harom, dan bahwasanya boleh menyewa orang untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan hal itu ditunjukkan oleh dalil berikut ini:

Yang pertama: sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upah darinya adalah Kitabulloh.” (HR. Al Bukhoriy (5737)). Dan ini jelas sekali.

Yang kedua: Bahwasanya Rosul Nabi صلى الله عليه وسلم membolehkan mengambil pemberian karena ruqyah, dalam hadits kisah orang yang tersengat binatang.

Yang ketiga: Bahwasanya Rosul صلى الله عليه وسلم menikahkan seorang wanita dengan orang yang tidak punya mahar, dengan Al Qur’an yang dihapalkannya, untuk dia mengajari wanita tadi. Maka Nabi menjadikan pernikahan tadi sebagai upah pengajaran.

Jika ada orang bertanya: “Bagaimana kalian membolehkan itu padahal itu adalah ibadah?”

Kita katakan: iya, kami memperbolehkannya dalam keadaan dia adalah suatu pendekatan diri kepada Alloh, karena kami membolehkan amalan tadi disebabkan oleh manfaat yang bisa diambil oleh orang yang menyewa. Oleh karena itulah andaikata kami menyewa orang untuk dia membaca (bukan membacakan) Al Qur’an semata, niscaya penyewaan tadi adalah harom, tidak sah. Adapun pengajaran, tidak demikian, karena si pengajar capek dan mendikte orang yang bodoh sampai si bodoh tadi mengetahui dan akan mengulangi lagi apa yang dihapalkannya dari Al Qur’an dengan pemeriksaan. Dan di sini ada amalan mubah untuk orang lain (ada pihak yang mendapatkan manfaatnya). Jika demikian, pendapat yang kuat adalah: boleh adanya upah karena pengajaran Al Qur’an. Dan kami telah menyebutkan tiga dalil, di antaranya adalah dalil lafzhiy (tekstual), dan dua dalil amaliy (berupa pengamalan).” (selesai dari “Asy Syarhul Mumti’”./10/hal. 9-10).

Tidak diragukan bahwasanya perbuatan tadi sekalipun boleh dilakukan, tapi jika dia itu tanpa udzur, sedikit banyak akan mengurangi kehormatan pelakunya, sebagaimana ucapan sebagian imam رحمهم الله.

Al Imam Abu Amr Ibnush Sholah رحمه الله berkata: “Barangsiapa mengambil upah dari pembacaan hadits, sebagian imam hadits melarang untuk menerima riwayatnya. Kami riwayatkan dari Ishaq bin Ibrohim bahwasanya beliau ditanya tentang ahli hadits yang menyampaikan hadits dengan upah. Maka beliau menjawab: “Janganlah engkau tulis hadits darinya.” Dan diriwayatkan seperti itu juga dari Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim Ar Roziy.

Abu Nu’aim dan Ali bin Abdil Aziz Al Makkiy dan yang lainnya mencari keringanan dalam mengambil upah dari penyampaian hadits. Dan yang demikian itu mirip dengan mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an dan yang semacam itu.

Hanya saja perbuatan ini secara adat kebiasaan akan merusak kehormatan pelakunya, dan membikin dia disangka buruk. Kecuali jika dia diiringi dengan udzur yang meniadaan praduga buruk tadi darinya, seperti berita yang diceritakan padaku oleh Asy Syaikh Abul Muzhoffar, dari ayahnya Al Hafizh Abu Sa’d As Sam’aniy: bahwasanya Abul Fadhl Muhammad bin Nashir As Salamiy menyebutkan: bahwasanya Abul Husain Ibnun Naqur berbuat itu, karena Asy Syaikh Abu Ishaq Asy Syairoziy berfatwa kepadanya akan bolehnya mengambil upah dari penyampaian hadits, karena para hali hadits selalu menghalangi dirinya dari bekerja untuk keluarganya. Wallohu a’lam.” (“Muqoddimah Ibnush Sholah”/hal. 61).

Dan dikarenakan hal itu mengurangi kehormatan dan memberatkan hati manusia yang tercipta untukmenyayangi harta mereka, -sekalipun minta upah dari pengajaran tadi adalah boleh- maka Alloh ta’ala mensucikan para Nabi-Nya عليهم الصلاة والسلام dari perbuatan itu sebagaimana telah lewat dalil-dalil tentang itu.

Alloh ta’ala berfirman:

﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].

 “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”

Al Imam Muhammad bin Ali Al Qoshshob رحمه الله berkata: “Dan firman Alloh ta’ala: “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan” merupakan dalil bahwasanya di dalam karakter manusia itu ada ketidaksukaan pada petuah yang datang dari orang yang mengambil dinar dan dirham, dan bahwasanya menjaga kehormatan dari dinar dan dirham itu terpuji di mata orang-orang di zaman jahiliyyah, bagi orang yang zuhud terhadap dinar dan dirham, dan orang yang bersegera mengambil dinar dan dirham itu martabatnya rendah. Maka Alloh memerintahkan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم untuk mengumumkan pensucian diri kepada para makhluk yang diberi peringatan, mensucikan diri dari mengambil upah harta atas dakwah beliau, yang mendakwahkan Kitabulloh dan agama-Nya yang Dia syariatkan kepada para hamba-Nya, agar dakwah beliau itu murni kepada Alloh جل وتعالى , bersih tidak tercampurkan dengan kecondongan pada dunia, karena dunia itu akan merendahkan pencarinya dan orang-orang yang condong kepadanya, merendahkan mereka dari martabah-martabat kemuliaan dan derajat-derajat hamba yang didekatkan. Dan dengan itu Alloh mengabarkan kisah para Rosul yang telah berlalu sebelum beliau di dalam surat Asy Syu’aro dan lainnya dengan firman-Nyaعليه السلام:

﴿وما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين﴾ [ الشعراء : 109 ] ،

 “Dan tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali dalam tanggungan Robbil alamin.”

Dan seterusnya. (“Nukatul Qur’an”/4/hal. 98-99/cet. Dar Ibnil Qoyyim).

Wahai saudara-saudaraku, inilah jalan para Nabi jika kita ingin mendapatkan keutamaan yang lebih tinggi.

Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Firman Alloh ta’ala:

﴿ويا قوم لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى الله﴾ الآية .

 “Dan wahai kaumku, tidaklah aku minta pada kalian upah sedikitpun dari dakwahku. Tidaklah upahku kecuali menjadi tanggungan Alloh.” Hingga akhir ayat. (QS. Hud: 29).

Alloh ta’ala dalam ayat yang mulia ini menyebutkan dari Nabi-Nya Nuh –semoga sholawat dan salam tercurah pada beliau dan pada Nabi kita-, bahwasanya beliau mengabarkan pada kaum beliau bahwasanya beliau tidak minta pada mereka harta sebagai bayaran dari wahyu dan petunjuk yang beliau datangkan, bahkan beliau itu mencurahkan kebaikan yang agung tadi secara gratis kepada mereka, tanpa mengambil upah sebagai bayaran amalan tadi.

Dan Alloh dalam ayat yang banyak telah menjelaskan bahwasanya yang demikian itu adalah sifat para Rosul عليهم صلوات الله وسلامه, -kemudian Asy Syinqithiy menyebutkan ayat-ayat yang banyak tentang hal itu, lalu beliau berkata:-, dan aku telah menyebutkan sisi penggabungan antara ayat-ayat yang tersebut ini  dengan firman Alloh ta’ala:

﴿قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى﴾ [الشورى: 23].

 “Katakanlah: tidaklah aku minta pada kalian upah dari dakwahku. Aku hanya minta kasih sayang dalam kekerabatan.”

Dalam kitab kami “Daf’u Ihamil Idhthirob ‘An Ayatil Kitab” dalam surat Saba, ketika membahas firman Alloh ta’ala:

﴿قُلْ مَا سَأَلْتُكُم مِّن أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ﴾ [ سبأ : 47 ]

 “Katakanlah: upah yang aku minta dari kalian, maka itu adalah untuk kalian sendiri.”

Dan diambil dari ayat-ayat yang mulia ini: bahwasanya yang wajib dilakukan para pengikut para Rosul, dari kalangan ulama dan yang lainnya adalah: hendaknya mereka itu mencurahkan ilmu yang mereka miliki secara gratis tanpa mengambil ganti dari amalan tadi, dan bahwasanya tidak pantas mengambil upah atas pengajaran Kitabulloh ta’ala, ataupun juga pengajaran aqidah-aqidah dan perkara halal dan harom.

Dan penjelasan ini didukung oleh hadits-hadits yang menunjukkan makna tadi. Di antaranya adalah hadits riwayat Ibnu Majah, Al Baihaqiy dan Ar Ruyaniy dalam Musnadnya dari Ubaiy bin Ka’b رضي الله عنه yang berkata:

علمت رجلاً القرآن ، فأهدى لي قوساً ، فذكرت ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : «إن أخذت قوساً من نار» فرددتها

“Aku pernah mengajari seseorang Al Qur’an, maka dia memberiku hadiah busur panah. Maka aku menceritakan hal itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika engkau mau mengambil busur dari neraka.” Maka aku mengembalikannya.”

Al Baihaqiy dan Ibnu Abdil Barr berkata tentang hadits ini: “Hadits ini munqothi’ (sanadnya terputus).” Yaitu antara ‘Athiyyah Al Kila’iy dan Ubaiy bin Ka’b. Demikian pula dikatakan oleh Al Mizziy. Tapi dibantah oleh Ibnu Hajar bahwasanya ‘Athiyyah dilahirkan pada zaman Nabi صلى الله عليه وسلم.

Dan Ibnul Qoththon menyatakan bahwasanya sanadnya berpenyakit karena ‘Athiyyah tersebut adalah Abdurrohman bin Salm, dan dia itu majhul.

Ibnu Hajar berkata dalam “At Taqrib”: “Orang ini majhul dari Syam.”

Asy Syaukaniy berkata dalam “Nailul ‘Author”: “Hadits ini punya jalur-jalur ke Ubaiyy. Ibnul Qoththon berkata: “Tidak ada hadits yang tetap dalam masalah ini sedikitpun.” Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Ucapan beliau perlu diperiksa lagi.” Al Mizziy dalam “Al Athrof” menyebutkan jalur-jalur untuk hadits tadi, di antaranya adalah: bahwasanya orang yang diajari Al Qur’an oleh Ubaiyy adalah Ath Thufail bin Amr. Dan ini didukung oleh apa yang diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam “Al Ausath” dari Amr bin Thufail Ad Dausiy yang berkata: “Ubaiyy bin Ka’b membacakan Al Qur’an kepadaku, maka aku memberinya hadiah busur panah. Maka beliau berangkat menemui Nabi صلى الله عليه وسلم sambil mengalungkannya ke lehernya. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Engkau mengalungkan busur dari Jahannam.” Al hadits. (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/366-367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah)

Saya katakan –dengan taufiq Alloh semata-: Hadits Ubayy diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2158) dan Al Baihaqiy “Al Kubro” (126). Dan dihukumi berpenyakit oleh para Huffazh, sebagaimana telah disebutkan.

Athiyyah bin Qois majhul. Abdurrohman bin Salm majhul ‘ain.

Al Hafizh Adz Dzahabiy رحمه الله dalam biografi Abdurrohman bin Salm berkata: “Sanadnya goncang, tentang orang yang memberi Ubayy hadiah busur panah. Dan tiada yang meriwayatkan darinya –Abdurrohman bin Salm- kecuali Tsaur bin Yazid.” (“Mizanul I’tidal” (4878)).

Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Di dalam sanadnya banyak perselisihan.” (“Tahdzibut Tahdzib”/6/hal. 170).

Adapun hadits Ath Thufail bin Amr رضي الله عنه diriwayatkan oleh Ath Thobroniy di “Al Ausath”, dan di dalam sanadnya Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, tidak diketahui siapakah dia? Maka dia itu majhul ‘ain, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Isma’il bin ‘Ayyasy. Dan tidak diketahui apakah dia mendengar dari Ath Thufail.

Al Hafizh Al Haitsamiy رحمه الله berkata: “Di dalam sanadnya ada Abdulloh bin Sulaiman bin Umair, dan tidak aku dapati biografinya, dan aku tidak mengira dia itu berjumpa dengan Ath Thufail.” (“Majmu’uz Zawaid”/4/hal. 111).

Maka mencari dukungan dengan hadits ini tidaklah kuat. Wallohu a’lam.

Bahkan Al Hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: “Dan hadits-hadits ini munkaroh, tidak ada yang shohih darinya sedikitpun menurut ulama hadits.” (“At Tamhid”/21/hal. 114).

Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan Asy Syaukaniy berkata juga: “Dan di dalam bab ini ada hadits dari Mu’adz diriwayatkan oleh Al hakim dan Al Bazzar seperti hadits Ubaiyy. Dan dari Abud Darda diriwayatkan oleh Ad Darimiy dengan sanad sesuai dengan syarat Muslim seperti hadits Ubaiyy. (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Saya katakan –dengan taufiq Alloh semata-: Adapun hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه maka saya belum menemukannya sampai sekarang.

Adapun hadits Abud Darda رضي الله عنه maka diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di “Hilyatul Auliya” (6/hal. 86), dan Al Baihaqiy di “As Sunanul Kubro” (6/hal. 126).

Al Hafizh Duhaim –Abdurrohman bin Ibrohim-: “Hadits Abud Darda رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang orang yang mengalungkan busur sebagai upah dari pengajaran Al Qur’an itu tidak punya asal (tidak punya asal yang shohih).” (dinukilkan oleh Al Baihaqiy di “As Sunanul Kubro” (6/hal. 126)).

Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan termasuk dari dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Ubadah ibnush Shomit رضي الله عنه yang berkata:

علمت ناساً من أهل الصفة الكتاب والقرآن ، فأهدى إلى رجل منهم قوساً فقلت ليست بمال أرمي بها في سبيل الله عز وجل ، لآتين رسول الله صلى الله عليه وسلم فلأسألنه ، فأتيته فقلت: يا رسول الله ، أهدى إلي رجل قوساً ممن كنت أعلمه الكتاب والقرآن وليست بمال أرمى عليها في سبيل الله؟ فقال : «إن كنت تحب أن تطوق طوقاً من نار فاقبلها»

“Aku pernah mengajarkan tulisan dan Al Qur’an para sekelompok orang dari Ahlush Shuffah, dan seorang dari mereka menghadiahkan padaku sebuah busur panah. Maka aku berkata: “Ini bukan uang, dan aku akan menembakkan panah dengannya di jalan Alloh. Sungguh aku akan mendatangi Rosululloh صلى الله عليه وسلم dengannya untuk aku tanya beliau tentang ini. Maka aku mendatangi beliau dan menanyai beliau. Maka beliau bersabda: “Jika engkau senang dikalungi busur dari api, maka terimalah dia.”

Di dalam sanadnya ada Al Mughiroh bin Ziyad Al Maushiliy. Asy Syaukaniy berkata: “Dia dihukumi tsiqoh oleh Waki’ dan Yahya bin Ma’in, tapi sekelompok huffazh mengkritiknya.”

Al Imam Ahmad berkata: “Al Mughiroh ini lemah haditsnya, dia meriwayatkan hadits-hadits munkaroh. Dan setiap hadits yang dia sebutkan sanadnya kepada Nabi maka itu adalah munkar.

Abu Zur’ah Ar Roziy berkata: “Tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.”

Ibnu Hajar di “At Taqrib” berkata: “Al Mughiroh bin Ziyad Al Bajaliy, Abu Hisyam atau Abu Hasyim Al maushiliy shoduq punya kekeliruan-kekeliruan.” (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Saya (penulis) katakan –dengan taufiq Alloh semata-:

Hadits Ubadah ibnush shomit رضي الله عنه diriwayatkan oleh Abu Dawud (3416) dan Ibnu Majah (2157). Di dalam sanadnya ada Al Mughiroh bin Ziyad Al Maushiliy.

Al Mughiroh bin Ziyad adalah Abu Hisyam Al Maushiliy. Dihukumi tsiqoh oleh sebagian imam, dan dia punya hadits-hadits munkar.

Al Imam Ahmad berkata tentangnya: “Dia itu haditsnya goncang, munkarul hadits, hadits-haditsnya itu munkaroh.”

Yahya bin Ma’in berkata: “Laisa bihi ba’s, dan dia punya satu hadits yang munkar.”

Abu Zur’ah berkata: “Di dalam haditsnya ada kegoncangan.”

Ibnu Adi berkata: “Hampir semua yang diriwayatkannya itu lurus, hanya saja terjadi pada haditsnya kekeliruan sebagaimana yang terjadi pada hadits rowi yang shoduq. Dia itu la ba’sa bih.” (selesai dari “Tahdzibut Tahdzib” (10/hal. 232)).

Al hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله telah menetapkan bahwasanya hadits ini adalah bagian dari hadits-hadits munkarnya Al Mughiroh bin Ziyad. Setelah menyebutkan hadits itu beliau berkata: “Adapun Al Mughiroh bin Ziyad maka dia itu terkenal sebagai pembawa ilmu, akan tetapi dia punya hadits-hadits munkaroh, di antaranya adalah hadits ini.” (“At Tamhid”/21/hal. 114).

Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalur lain tidak ada di dalamnya Al Mughiroh tersebut: Haddatsana Amr bin Utsman dan Katsir bin Ubaid yang keduanya berkata: haddatsana Baqiyyah: haddatsani Bisyr bin Abdillah bin Yasar. Amr berkata: dan haddatsaniy Ubadah bin Nusai dari Junadah bin Abi Umayyah, dari Ubadah ibnush Shomit semisal hadits tadi. Dan hadits yang pertama lebih sempurna: maka aku berkata: “Apa pandangan Anda tentang itu wahai Rosululloh –صلى الله عليه وسلم-? Maka beliau menjawab:

«جمرة بين كتفيك تقلدتها أو تعلقتها»

 “Itu adalah bara api di antara kedua pundakmu yang engkau kalungkan atau engkau gantungkan.”

Selesai dari beliau dengan lafazhnya.

Dan di dalam sanad riwayat ini ada Baqiyyah ibnul Walid, dikritik oleh sekelompok ulama dan ditsiqohkan oleh yang lain jika meriwayatkan dari rowi-rowi yang tsiqot. Dan dia adalah rowi di dalam “Shohih Muslim”. Dan Al Bukhoriy meriwayatkan untuknya secara mu’allaq (tidak menyebutkan sebagian rantai sanad Antara beliau ke Baqiyyah). Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam “At Taqrib”: “Shoduq, banyak mentadlis (menyembunyikan seorang rowi) dari rowi-rowi yang lemah.”

Yang nampak bagiku bahwasanya pendapat yang paling adil tentangnya adalah: jika dia terang-terangan meriwayatkan dengan lafazh yang menunjukkan bahwa dia mendengar dari rowi yang tsiqot, maka tidak apa-apa. Dan haditsnya ini didukung oleh riwayat yang telah terdahulu dan hadits yang akan datang insya Allohu ta’ala.” (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Saya (penulis) katakan –dengan taufiq Alloh semata-: hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3417), di dalamnya Baqiyyah ibnul Walid terang-terangan meriwayatkan dengan lafazh yang menunjukkan bahwa dia mendengar dari dari Bisyr bin Abdillah bin Yasar.

Baqiyyah ibnul Walid itu hafizh, termasuk imam Syam, akan tetapi riwayatnya dari rowi-rowi yang majhul itu munkaroh.

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku kira Baqiyyah itu tidak meriwayatkan hadits-hadits yang munkar kecuali dari rowi-rowi yang majhul. Ternyata dia juga meriwayatkan hadits-hadits yang munkar dari rowi-rowi yang terkenal. Maka tahulah aku dari mana dia kena bencana ini.”

Abu Mushir berkata: “Hadits-hadits Baqiyyah itu tidak bersih, maka lindungilah dirimu dari hadits-haditsnya.” (dua penukilan ini ada di “Mizanul I’tidal”/ (1250)).

Abdulloh bin Ahmad berkata: “Ayahku ditanya tentang Baqiyyah dan Isma’il, maka beliau menjawab: “Baqiyyah lebih aku sukai. Tapi jika dia meriwayatkan dari orang-orang yang tidak terkenal maka jangan kalian terima riwayatnya.”

Ibnu Abi Khoitsamah berkata: “Yahya –bin Ma’in- ditanya tentang Baqiyyah, maka beliau menjawab: “Jika dia meriwayatkan dari orang-orang tsiqoh semisal Shofwan bin Amr dan lainnya, maka terimalah, tapi jika dia meriwayatkan dari para majhul maka jangan diterima.” (dua penukilan ini ada di “Tahdzibut Tahdzib” (878)).

Dan orang yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dalam hadits ini adalah Bisyr bin Abdillah bin Yasar, dari Himsh, disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan tidak ditsiqohkan oleh imam yang terpandang. Maka Bisyr ini majhul.

Jika demikian maka sanad ini munkar juga (riwayat Baqiyyah dari majhul).

Akan tetapi Baqiyyah tidak sendirian dengan riwayat ini. Dia telah diikuti oleh Abul Mughiroh, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dalam “Musnad” beliau (22818). Dan Abul Mughiroh ini adalah Kholid bin Dahqon Al Qurosyiy, tsiqoh. Maka sanad ini lemah karena adanya Bisyr bin Abdillah bin Yasar yang majhul tadi.

Kesimpulan dari ini semua:

Bahwasanya hadits Ubaiy bin Ka’b رضي الله عنه di dalamnya ada majhul hal, majhul ‘ain, dan dilemahkan karena inqitho’ (terputus) dan idhthirob (kegoncangan) juga.

Bahwasanya hadits Ath Thufail bin Amr رضي الله عنه di dalamnya ada majhul ‘ain, dan dikhawatirkan terputus juga.

Bahwasanya hadits Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه yang diisyaratkan oleh Asy syaukaniy tidak saya dapatkan.

Bahwasanya hadits Abud Dardaرضي الله عنهtelah dihukumi oleh Duhaim رحمه الله bahwasanya dia itu tidak ada asalnya. Yaitu: tidak punya asal yang tetap.

Bahwasanya hadits Ubadah رضي الله عنه punya sanad munkar, dan punya sanad lain yang lemah dan bisa untuk menjadi dukungan.

Jika demikian, maka seluruh hadits dalam bab ini –sebatas apa yang saya dapati, dan pengetahuan saya itu dangkal- lemah semua, tidak bisa saling menguatkan. Alloh ta’ala a’lam. Dan saya tidak mengingkari pihak yang menghukumi hadits tadi hasan.

Al Hafizh Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata tentang hadits-hadits dalam bab ini: “Semuanya lemah, tidak ada yang bisa menjadi hujjah sedikitpun.” (“Al Istidzkar”/5/hal. 418).

Maka dikarenakan lemahnya dalil-dalil yang melarang dan kuatnya dalil-dalil yang membolehkan, mayoritas Salaf yang terdahulu membolehkan meminta upah pengajaran, atau mengambil upah pengajaran, bersamaan dengan pendapat mereka bahwasanya memurnikan minta pahala dari Alloh ta’ala itu lebih utama.

Kholid Al Hadzdza berkata: “Aku bertanya kepada Abu Qilabah tentang pengajar yang mengajar dan mengambil upah. Maka beliau berpandangan bahwasanya itu tidak apa-apa.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20831)/shohih).

Dan Abdulloh bin Thowus menceritakan dari ayahnya, bahwasanya beliau berpendapat tidak apa-apa pengajar mengajar dan tidak memasang syarat, jika diberi sesuatu dia mengambilnya.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20832), dan “Mushonnaf Abdurrozzaq” (14532) /shohih).

Dan dari Utsman Ibnul Harits, dari Asy Sya’biy yang berkata: “Si pengajar jangan memasang syarat, adapun jika dia diberi sesuatu, maka silakan dia menerimanya.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20833) /shohih).

Sekalipun hukumnya boleh, akan tetapi para Salaf memakruhkan seorang pengajar memasang syarat upah pengajaran, karena hal itu mengurangi kehormatan, dan menyelisihi jalan para Nabi, padahal para pengajar itu seharusnya menjadi orang yang terdepan dalam mencontoh para Nabi mereka.

Dari Al Mughiroh, dari Ibrohim –An nakho’iy- yang berkata: “Dulu dibenci seorang pengajar yang mengajari anak-anak dengan Al Qur’an itu memasang syarat (upah).” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20836) /shohih).

Dan dari Asy’ats –yaitu Ibnu Ishaq Al Qummiy-, dari Al Hasan –yakni Al Bashriy- yang berkata: “Tidak mengapa mengambil upah menulis, tapi pensyaratan itu dibenci.” (“Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah” (20838) /shohih).

Dan atsar-atsar tentang ini banyak.

Sebagian ulama dalam rangka menggabungkan antara dalil-dalil yang membolehkan dengan dalil-dalil yang melarang berkata: “Barangsiapa mengajarkan Al Qur’an dalam rangka mencari upah, maka boleh baginya untuk mengambil upah tadi. Tapi barangsiapa mengajarkan Al Qur’an dalam rangka ikhlas karena Alloh, jika dia diberi upah maka dia tidak boleh mengambilnya agar niat pertamanya tidak rusak.

Akan tetapi pendapat ini lemah jika dihdapkan kepada perintah Nabi صلى الله عليه وسلم untuk mengambil pemberian yang datang kepada kita tanpa kita minta dan tanpa pengharapan hati akan datangnya pemberian tadi.

Dan Abdulloh As Sa’idiy yang berkata:

استعملني عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الصدقة، فلما فرغت منها وأديتها إليه أمر لي بعمالة، فقلت: إنما عملت لله، وأجري على الله. فقال: خذ ما أعطيت فإني عملت على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فعملني، فقلت مثل قولك، فقال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم: «إذا أعطيت شيئا من غير أن تسأل فكل وتصدق».

“Umar ibnul Khoththob pernah mempekerjakan aku untuk mengurus shodaqoh. Manakala aku selesai mengurusinya dan aku menunaikannya kepada beliau, beliau memerintahkan agar aku diberi upah kerja. Maka aku berkata: “Saya beramal hanyalah untuk Alloh, dan pahala saya menjadi tanggungan Alloh.” Maka beliau berkata: “Ambillah apa yang kuberikan padamu, karena aku pernah beramal pada zaman Rosululloh صلى الله عليه وسلم , lalu beliau memberiku upah kerja. Maka aku berkata pada beliau seperti ucapanmu. Maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم berkata kepadaku: “Jika engkau diberi sesuatu tanpa engkau memintanya, maka makanlah pemberian itu dan bershodaqohlah.” (HR. Al Bukhoriy (7163) dan Muslim (1045), dan lafazh ini adalah lafazh Muslim).

Dan dalam lafazh Al Bukhoriy: Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ambillah dia, lalu jadikanlah itu sebagian bagian dari hartamu, dan bershodaqohlah dengannya. Apapun yang datang kepadamu dari harta ini dalam keadaan engkau tidak mengharapkannya dan tidak memintanya, maka ambillah dia. Jika engkau tidak diberi, maka janganlah jiwamu mengharap-harapkannya.”

Syamsul Haqq ‘Azhim Abadiy رحمه الله berkata tentang hadits ini: “Di dalamnya ada dalil tentang bolehnya mengambil upah atas pekerjaan-pekerjaan Muslimin dan perwalian-perwalian mereka yang bersifat agama dan keduniaan.” (“Aunul Ma’bud”/5/hal. 43).

Kita kembali pada perkataan Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله.

Kemudian beliau رحمه الله berkata: “Dan termasuk dalil yang melarang adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Tirmidziy dari ‘Imron bin Hushoin رضي الله عنهما dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:

«اقرؤوا القرآن واسألوا الله به ، فإن من بعدكم قوماً يقرؤون القرآن يسألون به الناس».

 “Bacalah Al Qur’an, dan mintalah kepada Alloh dengannya, karena sesungguhnya setelah kalian nanti ada suatu kaum yang membaca Al Qur’an dan meminta kepada manusia dengan Al Qur’an.”

At Tirmidziy berkata: “Sanadnya tidak seberapa kuat.” (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Saya berkata dengan taufiq Alloh semata:

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (19958) dan At Tirmidziy (2917), dan di dalam sanadnya ada Khoitsamah dari Al Hasan dari ‘Imron bin Hushoin رضي الله عنهما .

Khoitsamah ini adalah Abu Nashr ibn Abi Khoitsamah. Nama ayahnya adalah Abdurrohman Al Bashriy. Ibnu Ma’in berkata tentangnya: “Dia tidak ada harganya.” (“Tahdzibut Tahdzib”/ no. (337)).

Maka sanadnya adalah lemah sekali.

Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan termasuk darinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “Sunan” beliau: haddatsana Wahb bin Baqiyyah: akhbarona: Kholid, ‘an Humaid Al A’roj, ‘an Muhammad ibnul Munkadir, ‘an Jabir bin Abdillah yang berkata:

خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقرأ القرآن وفينا الأعرابي والأعجمي فقال: «اقرؤوا فكل حسن ، وسيجيء أقوام يقيمونه كما يقال القدح يتعجلونه ولا يتأجلونه» .

“Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah keluar menemui kami dalam keadaan kami membaca Al Qur’an, dan di antara kami ada orang-orang badui dan orang asing. Maka beliau bersabda: “Bacalah, maka masing-masing dari bacaan kalian itu bagus. Dan nanti akan datang kumpulan orang-orang yang menegakkan bacaan Al Qur’an sebagaimana ditegakkannya anak-anak panah, mereka bersegera mencari upahnya dan tidak menunda upahnya.” (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/367/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Saya (penulis) katakan dengan taufiq Alloh semata:

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (15308) dan Abu Dawud (830), dan para perowinya tsiqoh semua, kecuali Humad Al A’roj, dia itu adalah Abu Shofwan Humaid bin Qois Al Makkiy, shoduq. Maka hadits ini hasan.

Syamsul Haqq رحمه الله berkata tentang makna hadits ini: “Yaitu: masing-masing dari bacaan kalian itu bagus, diharapkan pahalanya jika kalian lebih mengutamakan Akhirat yang tertunda daripada dunia yang disegerakan. Kalian tidak berdosa jika kalian tidak menegakkan lidah-lidah kalian bagaikan ditegakkannya anak panah sebelum dipasangi bulu. Dan nanti akan datang kumpulan orang-orang yang menegakkannya, yaitu: membenarkan lafazh-lafazhnya dan kalimat-kalimatnya dan membebani diri dalam memperhatikan tempat-tempat keluarnya huruf dan sifat-sifatnya, sebagaimana ditegakkannya panah, yaitu mereka berlebihan dan mengamalkan bacaan dengan berlebihan yang keterlaluan dalam rangka mencari pujian karena dilihat dan didengar orang dan untuk kebanggaan dan kemasyhuran.”

Ath Thibiy berkata: “Dan di dalam hadits ini ada dalil dihilangkannya kesusahan, dan dibangunnya perkara ini di atas kemudahan secara lahiriyyah, dan bersungguh-sungguh dalam mencari pahala Alloh dan keikhlasan dalam beramal, dan memikirkan makna-makna Al Qur’an dan menyelami keajaiban-keajaiban Al Qur’an. “mereka bersegera mencari upahnya” yaitu: pahala di dunia, “dan tidak menunda upahnya” yaitu: mereka tidak mencari pahala di Akhirat tapi justru mereka lebih mengutamakan dunia yang disegerakan dari pada pahala Akhirat yang ditunda, mereka mencari makan dari Al Qur’an dan tidak mau bertawakkal pada Alloh.” (selesai dari “Aunul Ma’bud”/3/hal. 42).

Hadits ini bukanlah dalil untuk mengharomkan meminta upah, akan tetapi di dalamnya ada celaan atas perbuatan tadi.

Al Qodhi Al ‘Ainiy رحمه الله berkata: “Maksudnya adalah: mereka menyegerakan pahalanya di dunia, dan menuntut upah atas bacaan mereka dari herta-harta duniawiy, dan mereka tidak bersabar menanti pahala dan ganjaran yang akan mereka dapatkan di Akhirat. Dan kejadian ini telah berlangsung sebagaimana yang disabdakan oleh Rosululloh صلى الله عليه وسلم.” (“Syarh Sunan Abi Dawud”/Al Ainiy/4/hal. 12).

Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله menyebutkan dari Abu Dawud setelah itu: haddatsana Ahmad bin Sholih: haddatsana Abdulloh bin Wahb: akhbaroni ‘Amr wa Ibnu Lahi’ah: ‘an Bakr bin Sawadah: ‘an Wafa bin Syuroih Ash Shodafiy: ‘an Sahl bin Sa’d As Sa’idiy:

خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نقتري فقال : «الحمد لله ، كتاب الله واحد ، وفيكم الأحمر وفيكم الأبيض وفيكم الأسود ، اقرؤوا قبل أن يقرأه أقوام يقيمونه كما يقوم السهم يتعجل أجره ولا يتأجله»

“Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah keluar menemui kami dalam keadaan kami membaca Al Qur’an, maka beliau bersabda: “Segala pujian bagi Alloh. Kitab Alloh itu satu, dan di kalangan kalian itu ada orang kulit merah, di kalangan kalian itu ada orang kulit putih, di kalangan kalian itu ada orang kulit hitam. Bacalah sebelum Al Qur’an itu dibaca oleh orang-orang yang menegakkannya sebagaimana menegakkan panah, dia bersegera mencari upahnya dan tidak menunda upahnya.”(“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Saya (penulis) katakan dengan taufiq Alloh semata:

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (831), dan di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah, hapalannya buruk dan beliau itu mudallis. Akan tetapi beliau didukung oleh ‘Amr, yaitu ‘Amr ibnul Harits bin Ya’qub bin Abdillah Al Anshoriy, Abu Umayyah Al Mishriy, tsiqoh tsabt. (“Tahdzibut Tahdzib”/8/hal. 13).

Dan Bakr bin Sawadah adalah Abu Tsumamah Al Mishriy, tsiqoh. (“Tahdzibut Tahdzib” (886)).

Wafa bin Syuroih Ash Shodafiy disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot” dan tidak ditsiqohkan oleh imam yang terpandang. Maka dia majhul.

Maka sanadnya lemah, dan hadits ini hasan karena diperkuat oleh hadits yang sebelumnya.

Dan di dalam hadits tadi ada dalil bahwasanya barangsiapa lebih mengutamakan pahala dunia daripada Akhirat maka dia itu tercela.

Al Munawiy رحمه الله berkata: “Berita ini datang dalam alur celaan terhadap orang-orang yang akan datang (dengan sifat yang tersebut dalam hadits) itu.” (“Faidhul Qodir” (1341)).

Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad, dari Abdurrohman bin Syibl, dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda:

«اقرؤوا القرآن ولا تغلوا فيه ولا تجفوا عنه ولا تأكلوا به ولا تستكثروا به».

 “Bacalah Al Qur’an, dan janganlah kalian berlebihan di dalamnya, dan janganlah kalian menjauh darinya, dan janganlah kalian memakan harta dengannya, dan janganlah kalian memperbanyak harta dengannya.”

Asy Syaukaniy رحمه الله berkata dalam “Nailul Author” tentang hadits ini: “Al Haitsamiy berkata dalam “Majma’uz Zawaid”: para rowi Ahmad tsiqot.” (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Saya (penulis) katakan dengan taufiq dari Alloh semata:

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad (15568) dengan sanad shohih dari Yahya bin Abi Namir, dari Abu Rosyid Al Hibroniy, dari Abdurrohman bin Syibl رضي الله عنه dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم .

Saya tidak menemukan biografi Yahya bin Abi Namir. Akan tetapi dengan mengumpulkan jalur-jalur hadits ini ketahuan bahwasanya yang benar adalah Yahya bin Abi Katsir, bukan Yahya bin Abi Namir. Terjadi salah penulisan.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Mushonnaf” (7742) dari Waki’: haddatsana Hisyam Ad Dustuwa’iy, dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath Thohawiy dalam “Musykilul Atsar” (3671) dari Ali ibnul Mubarok: dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Sallam, dari Abu Sallam, dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.

Yahya bin Abi Katsir mudallis dan telah meriwayatkan dengan ‘an’anah. Dan telah nampak dalam sanad Ath Thohawiy bahwasanya Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan hadits ini dari Zaid bin Sallam, dari Abu Sallam –yaitu Mamthur Al Habsyiy-, dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.

Yahya bin Abi Katsir mendapat dukungan dari Mu’awiyah bin Sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam “Al Ahad Wal Matsaniy” (1862) dari jalur Muhammad bin Syu’aib bin Syabur: akhbaroniy Mu’awiyah bin Sallam, dari saudara beliau: Zaid bin Sallam, bahwasanya beliau mengabarkan dari kakek beliau: Abu Sallam, dari Abu Rosyid dari Abdurrohman bin Syibl.

Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam “Mushonnaf” (19444) dari Ma’mar: dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Sallam, dari kakeknya yang berkata: Mu’awiyah –bin Abi Sufyan- menulis surat kepada Abdurrohman bin Syibl. Tanpa menyebutkan Abu Rosyid.

Akan tetapi yang jelas adalah bahwasanya Abu Sallam –yaitu Mamthur Al Habsyiy-, kakek Zaid bin Sallam meriwayatkan hadits ini dari Abu Rosyid, karena Abu Sallam memang murid Abu Rosyid. Dan Abu Rosyid inilah yang langsung menghadiri kisah tadi, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Jauzajaniy, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam “Tahdzibut Tahdzib”, dalam biografi Abu Rosyid.

Dan juga sebagaimana yang kami sebutkan dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim, Ath Thohawiy dan Ibnu Abi Syaibah.

Abu Rosyid ini adalah Al Hibroniy Al Himyariy Al Himshiy. Namanya Akhdhor. Ada yang bilang namanya adalah Nu’man. Dia meriwayatkan dari Abdurrohman bin Syibl Al Anshoriy dan sejumlah Shohabat. Meriwayatkan darinya Abu Sallam Al Aswad. Beliau disebutkan oleh Abu Zur’ah Ad Dimasyqiy dalam ath thobaqotul ‘ulya (tingkatan tertinggi) dari orang-orang yang di bawah Shohabat. Al ‘Ijliy berkata: “Beliau adalah orang Syam, tabi’iy, tsiqoh. Tidak ada di zaman beliau di Damaskus orang yang lebih utama daripada beliau.” Dan beliau disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam “Ats Tsiqot.” (“Tahdzibut Tahdzib”/12/hal. 99).

Sesungguhnya pentsiqohan Al ‘Ijliy dan Ibnu Hibban itu tidaklah kokoh. Akan tetapi manakala sang rowi masuk dalam tingkatan tertinggi dari Tabi’in, maka derajatnya terangkat, sehingga haditsnya bisa dihasankan.

Al Munawiy رحمه الله berkata tentang makna hadits ini: ““Bacalah Al Qur’an, dan amalkanlah” dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. “dan janganlah kalian menjauh darinya” yaitu: janganlah kalian menjauhi bacaannya. “dan janganlah kalian berlebihan di dalamnya” yaitu: janganlah kalian melampaui batasannya dari sisi lafazhnya atau maknanya, dengan jalan kalian menakwilkannya dengan batil. Atau maksudnya adalah: janganlah kalian sekedar mencurahkan kerja keras dalam membacanya tapi kalian meninggalkan ibadah-ibadah yang lain. Menjauh adalah kekurangan. Dan berlebihan adalah berdalam-dalam di situ. Dan dua-duanya adalah buruk, sementara Alloh telah memerintahkan untuk bersikap tengah dalam berbagai perkara. Alloh berfirman:

﴿لم يسرفوا ولم يقتروا﴾

 “Mereka itu tidak menghamburkan harta dan tidak pula bersikap pelit.”

“dan janganlah kalian memakan harta dengannya, dan janganlah kalian memperbanyak harta dengannya.” Yaitu: janganlah kalian menjadikan Al Qur’an sebagai sarana untuk memperbanyak keduniaan. Dan termasuk dari adab yang diperintahkan adalah: bersikap pertengahan dalam berbagai urusan. Sedangkan dua ujung pertengahan adalah tercela.”

Ath Thibiy berkata: “Nabi menginginkan agar kalian jangan menjauhi Al Qur’an dengan meninggalkan bacaannya dan sibuk dengan takwil dan tafsirnya. Dan janganlah kalian berlebihan dengannya dengan jalan mencurahkan kerja keras dalam membacanya dan tajwidnya tanpa mau memikirkan kandungannya. Sebagaimana sabda beliau dalam hadits yang lain:

«لم يفقه من قرأ القرآن في أقل من ثلاث».

 “Tidak akan paham orang yang membaca Al Qur’an kurang dari tiga hari (yaitu: khotam Al Qur’an dalam waktu kurang dri tiga hari.” (selesai penukilan dari “Faidhul Qodir” (2/hal. 64)).

Hadits yang beliau isyaratkan barusan adalah riwayat At Tirmidziy (2949) dan Ibnu Majah (1347) dari Abdulloh bin ‘Amr ibnul ‘Ash رضي الله عنهما . Hadits ini shohih.

Dan hadits Abdurrohman bin Syibl رضي الله عنه merupakan dalil akan terlarangnya menjadikan Al Qur’an sebagai sarana untuk mendapatkan keduniaan.

Ulama “Al Lajnatud Daimah Lil Buhutsil ‘Ilmiyyah Wal Ifta” (4/hal. 318) dalam penjelasan mereka tentang hadits ini berkata: “Rosul صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk membaca Al Qur’an dan mempelajarinya dalam rangka mengingat Alloh dan beribadah kepada-Nya, dan mengharapkan pahala-Nya dan takut kepada hukuman-Nya, dan dalam rangka memahami hukum-hukum-Nya dan mengamalkannya serta mengambil petuah dari nasihat-nasihatnya. Dan Rosul صلى الله عليه وسلم melarang mengambil upah dari bacaan Al Qur’an dan mencari makan dengannya.” Selesai.

Apakah orang yang melakukan itu dikatakan bahwasanya dia membaca Al Qur’an untuk Alloh?

Barangsiapa merenungkan makna hadits tersebut dan penjelasannya, tahulah dia bahwasanya barangsiapa mencari makan dengan Al Qur’an, maka bacaannya tadi bukanlah untuk Alloh.

Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Bahwasanya bacaan itu jika bukan untuk Alloh, maka dia itu adalah untuk riya, atau mencari makan dengan Al Qur’an, dan yang semisal itu.” Lalu beliau menyebutkan beberapa dalil, di antaranya adalah hadits Abdurrohman bin Syibl ini, dan berkata: “Sanadnya kuat.” (“Fathul Bari”/9/hal. 100).

Maka orang itu sekalipun selamat dari dosa, karena ada dalil-dalil yang membolehkan, tapi sebagian pahala amalnya rusak sesuai dengan kadar niatnya, karena amalan itu jika tidak karena Alloh maka dia itu batil, sehingga tinggal menjadi bagaikan akad jual beli atau akad persewaan saja.

Kecuali jika dia memang dalam kondisi berhajat kepada rizqi, dan dia meniatkan dengan niat yang jujur bahwasanya menjadikan pekerjaannya tadi sebagai penolong dia dalam menaati Alloh dan menunaikan kewajiban-kewajiban, maka dia mendapatkan pahala dari amalan itu, sebagaimana telah lewat penjelasannya dari Syaikhul Islam رحمه الله.

Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله berkata: “Dan di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Atsrom dalam “Sunan” beliau dari Ubaiyy رضي الله عنه yang berkata:

كنت أختلف إلى رجل مسنّ قد أصابته علة ، قد احتبس في بيته أقرئه القرآن ، فيؤتى بطعام لا آكل مثله بالمدينة ، فحاك في نفسي شيء فذكرته للنبي صلى الله عليه وسلم فقال : «إن كان ذلك الطعام طعامه وطعام أهله فكل منه ، وإن كان يتحفك به فلا تأكله»

“Dulu saya sering berbolak-balik ke seseorang yang sudah tua dan terkena penyakit, dia tertahan di rumahnya. Saya membacakan kepadanya Al Qur’an. Lalu didatangkanlah makanan yang belum pernah aku memakan semisal itu di Madinah. Tapi terdesir di hatiku suatu perkara, maka aku menceritakan itu pada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika makanan tadi adalah makanan dia dan keluarganya, maka makanlah darinya. Tapi jika dia menghadiahkan untukmu (sengaja membikinnya untukmu), maka jangan engkau makan.”

Selesai dengan perantaraan penukilan Ibnu Qudamah dalam “Al Mughni” dan Asy Syaukaniy dalam “Nailul Author.” (“Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Saya (penulis) katakan dengan taufiq dari Alloh semata:

Saya tidak punya “Sunan” Al Atsrom, tapi hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Ubaid Al Qosim bin Sallam رحمه الله seraya berkata: haddatsana Abdulloh bin Sholih: ‘an Musa bin Ulaiy bin Robah: ‘an Abihi:

أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأبي بن كعب

“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم berkata pada Ubaiyy,…”

Semisal hadits ini. (“Fadhoilul Qur’an”/Abu Ubaid/no. (292)).

Abdulloh bin Sholih adalah Abu Sholih Al Mishriy, sekretaris Al Laits, lemah, bisa untuk pendukung. (“Tahdzibut Tahdzib”/5/hal. 227).

Musa bin Ulaiy bin Robah adalah Abu Abdirrohman Al Bashriy, tsiqoh, kecuali jika menyendiri. (“Tahdzibut Tahdzib”/10/hal. 323).

Ayahnya adalah Ulaiy bin Robah bin Qushoir Al Lakhmiy, Abu Abdillah, tsiqoh. (“Tahdzibut Tahdzib”/7/hal. 280).

Hadits ini lemah karena lemahnya Abdulloh bin Sholih, dan juga karena bentuknya adalah mursal (Ulaiyy tidak bertemu Nabi, dan tidak menghadiri kisah tadi).

Dan telah lewat dalil-dalil yang membolehkan mengambil upah atau hadiah atau pemberian karena mengajar, tanpa memasang syarat.

Kemudian Al Imam Asy Syinqithiy رحمه الله menyebutkan perselisihan para imam dalam masalah ini, dan menyebutkan seperti apa yang disebutkan oleh Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله disertai dengan dalil-dalil yang membolehkan. Kemudian beliau berkata: “Yang jelas bagiku, dan Alloh ta’ala lebih tahu, adalah: bahwasanya seseorang itu jika tidak ada tuntutan hajat darurat, maka lebih utama baginya untuk tidak mengambil upah atas pengajaran Al Qur’an, aqidah-aqidah, dan halal-harom, berdasarkan dalil-dalil yang telah lewat. Jika hajat menuntutnya untuk itu, maka silakan dia mengambil upah sesuai kadar darurat yang dialaminya, dari baitul mal milik Muslimin, karena yang nampak adalah bahwasanya harta yang diambil dari baitul mal milik Muslimin itu memang disediakan untuk membantu dilaksanakannya pengajaran, bukan sebagai upah.

Dan lebih utama bagi orang yang telah Alloh cukupi untuk dia itu menjaga kehormatan, jangan sampai mengambil sedikitpun dari upah pengajaran Al Qur’an, aqidah-aqidah, dan halal-harom. Ilmu tentang ini ada di sisi Alloh ta’ala. (selesai dari “Adhwaul Bayan”/Asy Syinqithiy/368/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

Kesimpulannya adalah: bahwasanya dalil-dalil yang berisi ancaman terhadap orang yang mengambil upah itu semuanya lemah, tidak tegak dengannya hujjah untuk mengharomkan mengambil upah dari pengajaran. Dan dalil-dalil yang telah tetap itu menunjukkan bahwasanya orang menuntut upah pengajaran, atau memasang syarat, itu tercela atau dibenci, sekalipun tidak sampai harom. Adapun jika dia meminta upah karena punya hajat, maka dia tidak tercela. Dan dalil-dalil shohih yang lain menunjukkan tentang bolehnya mengambil upah pengajaran tanpa syarat.

Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Sebagian ulama mendakwakan bahwasanya hadits-hadits yang membolehkan itu dihapus oleh hadits-hadits yang datang yang berisi ancaman terhadap orang yang mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an, dan telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lain. Ini terbantah karena dakwaan tadi merupakan penetapan nasikh mansukh dengan semata-mata kemungkinan, dan itu tak bisa diterima. Juga terbantah karena hadits-hadits tadi tidak terang-terangan melarang mengambil upah secara mutlak. Bahkan isinya adalah kejadian-kejadian khusus yang memungkinkan untuk ditakwilkan agar sesuai dengan hadits-hadits yang shohih seperti hadits dalam bab ini. Dan terbantah juga dengan bahwasanya hadits-hadits (yang mengancam) tersebut tidak bisa tegak dengannya hujjah, maka tidak bisa berhadapan dengan hadits-hadits shohih.” (“Fathul Bari”/4/hal. 453-454).

Kenapa adanya hajat itu membolehkan perkara yang semua tercela dan dibenci? Yang demikian itu dikarenakan hajat itu timbul dari kesulitan, sementara kesulitan itu menuntut adanya pemudahan, sebagaimana itu telah tetap di dalam kaidah-kaidah fiqhiyyah yang diambil dari dalil-dalil yang banyak.

Apa makna “hajat” secara syar’iy?

Al ‘Allamah Asy Syathibiy رحمه الله berkata: “Adapun perkara yang bersifat hajat itu maknanya adalah: bahwa perkara tadi diperlukan dalam rangka perluasan kondisi dan penghilangan kesempitan yang secara umum bisa memasukkan orang kepada kesulitan dan kepayahan karena tidak berhasil mendapatkan perkara yang diinginkan. Jika hajat-hajat tadi tidak diperhatikan, para hamba akan masuk ke dalam kesulitan dan kepayahan, hanya saja perkara tadi secara adat kebiasaan tidak sampai pada taraf yang dikhawatirkan akan merusak kemaslahatan umum.” (“Al Muwafaqot”/2/hal. 10-11).

Ibnu Nujaim رحمه الله berkata: “Kaidah yang keempat: kesulitan itu menuntut datangnya pemudahan. Asal dari kaidah ini adalah firman Alloh ta’ala:

﴿يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر﴾

 “Alloh menginginkan kemudahan untuk kalian, dan Dia tidak menginginkan kalian tertimpa kesulitan.”

Dan firman Alloh ta’ala:

﴿وما جعل عليكم في الدين من حرج﴾.

 “Dan Alloh tidak menjadikan di dalam agama ini kesempitan terhadap kalian.”

(selesai dari “Al Asybah Wan Nazhoir”/Ibnu Nujaim/hal. 75).

Sumber:

http://ashhabulhadits.wordpress.com/2014/05/05/hukum-mengambil-upah-dari-pengajaran-agama-dan-pembacaan-ruqyah/

Leave a comment