Sanad dan Riwayah

Sanad artinya sandaran yang dapat dipercaya atau bukti (menurut bahasa). Sedangkan menurut istilah, sanad adalah rantai yang menghubungkan pembawa berita (rawi/ periwayat) sebuah matn atau teks (lafazh) kepada pembicara (bila berupa perkataan) atau penulisnya (bila berupa tulisan).

Teks/ lafazh yang dibawa atau diriwayatkan oleh perawi dapat berupa kitab, seperti Al-Quran, kitab-kitab hadits, aqidah, atau fiqih. Dapat juga berupa syair, seperti Manzhumah-Manzhumah ilmiyah yang disusun oleh para Ulama. Dapat juga berupa Matn-Matn hadits (sebuah hadits) yang memiliki kesamaan sifat dalam meriwayatkannya (disebut dengan istilah hadits musalsal).

SANAD AL-QURAN

Bila yang dimaksud adalah sanad Al-Quran, maka artinya adalah rangkaian (rantai) para perawi (orang-orang yang meriwayatkan lafazh/ ayat) dari zaman kita sampai kepada Rasuulullaahi shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Dan Rasuulullaah meriwayatkan Al-Quran dari Malaikat Jibril, dari Allaah Azza wa Jalla.

Al-Quran diriwayatkan lafazh (teks) dan cara membacanya (qiraah), di mana tajwid atau tahsin terdapat di dalamnya. Inilah yang membedakannya dengan sanad selain Al-Quran.

Sanad atau periwayatan selain Al-Quran hanya berkaitan erat dengan penjagaan terhadap lafazh (teks) semata. Tidak ada keharusan membacanya dengan kaidah-kaidah tertentu, juga tidak ada keharusan membacanya dengan dialek atau bahasa Arab yang paling fasih. Karena tugas utama periwayatan adalah penjagaan terhadap lafazh dan makna, sehingga selama lafazh atau maknanya tidak berubah, maka hal tersebut sudah cukup baginya.

Disebabkan dalam periwayatan Al-Quran juga terkandung di dalamnya qiraah (cara membaca lafazh-lafazhnya), maka seorang perawi (orang yang meriwayatkan) dituntut untuk bisa melafazhkan ayat demi ayat Al-Quran dengan bahasa yang paling fasih dan kaidah-kaidah yang telah disepakati para Ulama Ahli Qiraah dan Tajwid. Atau setidaknya, telah melampaui standar minimal bacaan yang benar dan terhindar dari lahn (kesalahan) dalam melafazhkannya.

Untuk menjaga cara membaca Al-Quran itulah kemudian para Ulama menyusun kaidah-kaidah ilmu Qiraat dan Tajwid. Sehingga seorang perawi Al-Quran setidak harus menguasai kaidah-kaidah dasar dalam ilmu Qiraat dan Tajwid berkaitan dengan bacaan yang ia riwayatkan, agar Al-Quran yang ia riwayatkan tersebut bukan sekadar terjaga lafazh-lafazhnya, namun juga terjaga cara mengucapkan atau cara membaca lafazh-lafazhnya.

Para ulama sepakat bahwa cara menjaga sebuah lafazh atau teks tidak mesti perawi itu menghafalnya. Seorang perawi tetap disebut dhabith (terpercaya dalam menjaga lafazh) bila ia memiliki catatan (atau bila zaman sekarang cetakan) atas lafazh atau teks yang ia riwayatkan.

Dalam konteks Al-Quran, maka cetakan Al-Quran yang telah diverifikasi oleh para Ulama cukup menjadi pegangan para perawi untuk meriwayatkan lafazh-lafazh Al-Quran. Berarti, yang ia mesti kuasai bila ingin meriwayatkan Al-Quran atau lebih khusus mendapatkan izin (ijazah) untuk meriwayatkan Al-Quran dari gurunya adalah bisa mengucapkan lafazh-lafazh dalam Al-Quran tersebut dengan benar dari awal sampai akhirnya. Al-Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan mengatakan bahwa hafalan bukanlah syarat untuk mengambil ijazah (izin untuk meriwayatkan) Al-Quran. Sebagaimana ijazah juga bukan syarat dalam mengajarkan Al-Quran. Sehingga, bagi orang yang belum mendapatkan ijazah sekalipun, tetap boleh mengajarkan Al-Quran, bahkan wajib mengajarkan Al-Quran sejauh batas kemampuan dan ilmu yang dimilikinya.

Namun demikian, sebagian ulama memberikan syarat menghafal dalam meriwayatkan Al-Quran, sebagaimana sebagian Ulama memberikan syarat hafal dan meriwayatkan kitab-kitab hadits yang kecil atau Manzhumah-Manzhumah ilmiah. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak berhak untuk disanggah, karena yang namanya izin untuk meriwayatkan (ijazah) adalah hak prerogatif mujiz (orang yang memberikan ijazah), dan ialah yang menentukan bagaimana seorang mujaz (yang diberikan ijazah) mengambil ijazah dan meriwayatkan darinya.

SANAD HADITS

Adapun bila yang dimaksud sanad hadits, maka terdapat dua kemungkinan. Pertama, maksudnya adalah meriwayatkan matn-matn hadits dari gurunya dengan mempertahankan sifat yang sama dalam meriwayatkannya, atau dikenal dengan istilah hadits musalsal. Sedangkan yang kedua, adalah meriwayatkan sebuah kitab hadits dari gurunya dengan sanad yang bersambung sampai kepada penyusun kitab tersebut. Tentu saja, penyusun kitab hadits memiliki sanad yang bersambung sampai Rasuulullaahi shallallaahu ‘alayhi wa sallam.

Berkaitan dengan yang pertama, yakni hadits musalsal, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

يَا مُعَاذُ ! وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ ، فَقَالَ : أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ : لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ : اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Wahai Mu’adz, demi Allaah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu, demi Allaah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu.” Maka Nabi melanjutkan sabdanya: “Aku menasihatimu wahai Mu’adz, janganlah engkau pernah meninggalkan dzikir ini di setiap akhir shalatmu: “Allaahumma a’inni ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatika” (Yaa Allaah tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadahku pada-Mu).”

Esensi pesan dari periwayatan yang terkandung dalam hadits di atas adalah nasihat Nabi untuk senantiasa menjaga dzikir di setiap akhir shalat dengan dzikir yang telah disebutkan. Namun demikian, para Ulama yang meriwayatkan hadits tersebut senantiasa menjaga sifat yang sama dari generasi ke generasi sehingga sifat ini terus bertahan dan berkelanjutan hingga di zaman ini. Apa itu?

Yakni ungkapan cinta (mahabbah) yang disampaikan Rasul kepada Mu’adz. Maka, pada saat Mu’adz ingin menyampaikan pesan ini kepada murid-muridnya, tidak lupa beliaupun menyisipkan ungkapan cinta di awalnya, “Wahai Sahabatku Aku sungguh mencintaimu…”

Ungkapan cinta itu terus dipertahankan oleh generasi setelahnya. Maka, para Tabiin meriwayatkan hadits itu dengan terlebih dahulu mengungkapkan kecintaan kepada orang-orang yang mendengar hadits ini. Begitupun para Tabiut Tabiin kepada generasi setelahnya, dan begitu pula yang terjadi hari ini, di mana para perawi tidak lupa menyisipkan ungkapan cinta ini kepada orang-orang yang mendengarkannya. Karena kesamaan sifat ini (ungkapan cinta), maka hadits ini dikenal dengan hadits musalsal bil-mahabbah. Dan hadits musalsal ini banyak sekali jumlahnya dengan keragaman sifat yang seragam di dalam periwayatannya. Ada musalsal bish shuratish Shaff (Musalsal Surat Ash-Shaf), Musalsal bil-Awaliyyah (Musalsal Hadits yang pertama kali didengar), Musalsal bi ilbasi imamah (Musalsal mengenakan sorban/ imamah), dan lain sebagainya.

Adapun jenis periwayatan hadits yang kedua, yakni meriwayatkan kitab hadits. Tentu walaupun ia merupakan sebuah kitab hadits, karena sandarannya telah ditujukan kepada penyusunnya, maka periwayatan kitab ini mencakup seluruh tulisan yang ditulis oleh penyusunnya, baik berupa ta’liq (komentar), judul, bab, kesimpulan hukum (istinbath), muqaddimah, dan khatimah.

Caranya seorang guru/ penyusun kitab ini membacakan kepada muridnya, sedangkan muridnya mendengar, menulis, dan menghafalnya (bagi yang mampu), mengoreksi lafazh-lafazhnya (bagi yang telah memegang naskah), dari awal sampai akhirnya. Atau sebaliknya, si murid yang membacakan naskah salinan kepada gurunya, sedangkan gurunya menyimak sambil mengoreksi bila terdapat kekeliruan.

Cara yang sama juga digunakan dalam periwayatan kitab-kitab yang lain, seperti akidah, fikih, atau syair. Hanya saja, berbeda dengan hadits yang sanadnya secara muthlaq disandarkan kepada Nabi (walaupun terikat oleh penyusun, namun ada sanad dari penyusun kepada Nabi, selain tambahan-tambahan yang berasal dari penyusun sendiri, maka tidak disandarkan kepada Nabi). Kitab-kitab selain hadits sanadnya terputus atau berakhir pada penyusunnya. Misalnya dalam ilmu tajwid, ada syair yang sangat fenomenal yang dijadikan rujukan dalam kaidah-kaidah tajwid, yakni Manzhumah Muqaddimah Jazariyyah. Maka, perawi Manzhumah ini menyandarkan lafazh atau teks yang diriwayatkannya kepada gurunya, dari gurunya dari gurunya sampai kepada Al-Imam Ibnul Jazariy yang merupakan penyusun Manzhumah ini. Begitupun kitab-kitab yang lain.

FUNGSI SANAD

Asalnya, sanad berfungsi untuk menjaga lafazh-lafazh atau teks agar tidak berubah. Dalam konteks hadits, adalah agar sebuah teks bisa diteliti keasliannya, apakah ia berasal dari Nabi atau tidak. Bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan menyusuri sanad para perawi dan meneliti keadaan para perawi, apakah ia orang yang adil atau fasik, apakah ia termasuk orang yang tsiqah (terpercaya) atau pendusta, apakah ia termasuk orang yang dhabith (bisa menjaga lafazh) atau justru dhaif (lemah). Termasuk apakah rangkaian sanad ini benar-benar bersambung atau terputus. Caranya adalah dengan meneliti perjalanan para perawi, biografinya, dan hal-hal yang berhubungan dengannya, sehingga dapat diketahui apakah seorang perawi benar-benar bertemu dan meriwayatkan lafazh/ teks tersebut dari generasi setelahnya atau tidak.

Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman, sebagian kalangan kemudian hilang perhatian terhadap sanad, karena beranggapan sebuah lafazh/ teks dapat diketahui asli atau palsu cukup dengan meng-klik sebuah program atau membuka internet, tidak perlu mengambil dan meriwayatkan secara langsung dari para perawi.

Di satu sisi perkataan ini cukup beralasan. Namun di sisi yang lain, ternyata para Ulama, khususnya kalangan Ahli Hadits justru menjaga tradisi periwayatan ini secara tradisional, tidak terpaku kepada naskah, baik yang tertulis atau tercetak, kecuali yang telah diberikan catatan atas hasil periwayatan yang telah diambilnya dari guru-gurunya.

Betapa banyak naskah yang keliru, cetakan yang rusak, atau lafazh yang hilang disebabkan hilangnya tradisi periwayatan. Terlebih, tradisi periwayatan merupakan tradisi para Ulama, baik Salaf ataupun Khalaf, dan mereka ternyata menyibukkan diri dengannya. Bila tradisi periwayatan bukanlah suatu hal yang penting dalam agama ini, maka bagaimana mungkin para Ulama menyibukkan diri dan menjaga tradisi ini, bahkan sampai detik ini..?!

SANAD DAN KEBERKAHAN

Salah satu argumen yang dikemukakan oleh para Ulama terkait dengan menjaga sanad dan periwayatan adalah: “Mana yang lebih baik, engkau membeli sebuah kitab lalu membacanya sendiri di rumahmu, atau engkau membeli sebuah kitab, lalu membacakannya di hadapan penyusunnya..?”

Maka dengan serta merta kita akan menjawab, tentu yang lebih baik adalah membacakan di hadapan penyusunnya. Lalu bagaimana bila penyusunnya telah tiada? Maka tentu kita cari seseorang yang telah membacakan kitab tersebut kepada penyusunnya. Bila generasi kedua tersebut telah tiada? Maka tentu kita cari generasi berikutnya, generasi yang terdekat dengan penyusunnya. Inilah hakikat sanad, maka tersusunlah rantai para perawi yang terdiri atas orang-orang yang meriwayatkan kitab tersebut sampai kepada penyusunnya.

Lebih dari itu, menjaga sanad dan periwayatan adalah bagian dari mencari keberkahan ilmu. Sedangkan pintu keberkahan ilmu yang paling terbuka lebar adalah dari keridhaan sang guru. Bila kita ingin mendapatkan keberkahan dari sebuah kitab, darimana kita mencarinya? Tentu kita cari ridha dari penyusunnya. Bila penyusunnya telah tiada? Maka tentu kita mencari orang yang telah mendapatkan izin (ijazah) dari penyusunnya. Ijazah untuk membacanya, membacakan, mempelajarinya, dan meriwayatkannya. Dari sinilah kemudian para Ulama mengambil kesimpulan urgensi mempertahankan sanad dan periwayatan.

Dalam tradisi periwayatan, seseorang tidak dituntut memahami makna atau tafsir dari apa yang diriwayatkannya. Selama ia berhasil menjaga lafazh dan teksnya, maka ia tetap dinilai sebagai orang yang tsiqah (terpercaya). Karena inti dari periwayatan adalah penjagaan terhadap lafazh bukan pemahaman terhadap lafazh.

Namun demikian, terkhusus sanad dan periwayatan Al-Quran, maka salah satu urgensinya adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, yakni juga menjaga cara membaca lafazh (ayat-ayat Al-Quran) sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati para Ulama Ahli Qiraah dan Tajwid, sehingga yang terjaga dari Al-Quran bukan sekadar lafazh dan maknanya, melainkan juga cara membacanya. Tentu saja ini juga akan membuka pintu-pintu keberkahan dari langit, karena sesungguhnya Rasuulullaahi shallallaahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda,

إن الله يحب أن يقرأ هذا القرآن كما أنزل

“Sesungguhnya Allaah mencintai Al-Quran ini dibaca sebagaimana ketika ia pertama kali diturunkan.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Bagaimanakah Al-Quran dibaca ketika ia pertama kali diturunkan?

Maka Al-Imam Ibnul Jazariy mengatakan dalam Thayyibahnya,

بحسن صوت بلحون العربي
مرتلا مجودا بالعربي

“Dengan suara yang indah (tahsin), yakni dengan dialeknya orang Arab, dengan tartil (tadabbur), dengan tajwid, dan dengan bahasa Arab yang paling fasih.”

Jadi, walaupun para perawi Al-Quran tidak dituntut (secara riwayah) untuk memahami tafsirnya dan seluk-beluk Al-Quran secara mendalam, namun ia tetap dituntut memiliki kemampuan dalam menjaga lafazh dan cara membacanya.

Karena itu pula Al-Imam Ibnul Jazariy mengatakan dalam Muqaddimahnya,

إذ واجب عليهم محتم
قبل الشروع أولا أن يعلم
مخارج الحروف والصفات
ليلفظوا بأفصح اللغات

“Maka wajib dengan kewajiban yang amat sangat, bagi para pembaca Al-Quran,
sebelum mereka memulai membaca Al-Quran (terlebih meriwayatkannya, pen.), hendaknya terlebih dahulu memahami
Persoalan makharijul huruf dan sifat-sifatnya
Agar bisa melafazhkan Al-Quran dengan bahasa Arab yang paling fasih.”

Wallaahu a’lam.

Selasa, 27 Februari 2018
Perjalanan Bandung-Depok (MGI)

Abu Ezra (Laili Al-Fadhli)

Semoga Allaah mengampuninya dan mengampuni keluarganya. Aamiin

Leave a comment