Riwayah dan Dirayah

Menuntut ilmu adalah karena ingin mendapatkan pemahaman, agar bisa diamalkan. Bukan karena ingin mendapatkan ijazah atau sanad.

Namun, dari sisi ilmu riwayah, ijazah atau sanad adalah bagian dari bekal dalam perjalanan menuntut ilmu, bukan titik akhir dari perjalanan panjang.

Mendapatkan ijazah atau sanad artinya siap menyelam lebih dalam dan siap mengarungi samudera ilmu lebih luas lagi.

Karena itu juga, dari sisi ilmu riwayah, banyaknya ijazah atau sanad periwayatan tidaklah selalu mencerminkan luasnya pengetahuan atau dalamnya pemahaman. Sebab sanad periwayatan berkaitan erat dengan penjagaan lafazh-lafazh, bukan pemahaman yang mendetail terhadap lafazh-lafazh yang diriwayatkan.

Karenanya seorang yang mendengar bisa jadi lebih paham dari yang meriwayatkan, sebagaimana isyarat dari Rasuulullaahi shallallaahu ‘alayhi wa sallam:

لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ

Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir diantara kalian. Bisa jadi yang menyaksikan itu menyampaikan kepada orang yang lebih paham daripada dirinya. (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan Ad-Darimi)

Juga sabda Rasuulullaahi shallallaahu ‘alayhi wa sallam:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

Semoga Allah memperindah orang yang mendengar hadits dariku lalu menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain, berapa banyak orang menyampaikan ilmu kepada orang yang lebih berilmu, dan berapa banyak pembawa ilmu yang tidak berilmu. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi)

Dari beberapa riwayat di atas dan juga riwayat-riwayat lain yang senada dengan apa yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada pendengar berita yang lebih memahami isi berita daripada orang yang menyampaikannya.

Oleh karena itu, mayoritas Ulama tidak mensyaratkan pemahaman sebagai syarat diterimanya kabar dari perawi (orang yang meriwayatkan). Bahkan, inilah yang jadi pijakan para Ulama Ahli Hadits.

Syarat perawi yang disepakati ada empat: Islam, Baligh (saat menyampaikan riwayatnya, dan sah bila pada saat mendengarnya masih anak-anak selama telah mumayyiz), Dhabith (baik dengan hafalan ataupun catatan), dan Adil (bukan pelaku dosa besar atau Ahli Bid’ah yang disepakati kebid’ahannya).

Selama seseorang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka ia berhak untuk meriwayatkan dan diterima periwayatannya. Walaupun ia bukan seorang faqih, atau kurang memahami kabar yang dibawanya.

Sedangkan pendalaman dan perluasan materi untuk menunjang pemahaman terhadap lafazh-lafazh merupakan bagian dari dirayah, bukan riwayah.

Karenanya, orang yang memiliki kualitas tinggi dalam dirayah, belum tentu memiliki ijazah atau sanad periwayatan yang ‘aliy (tinggi). Bahkan bisa jadi tidak memilikinya sama sekali. Dan hal tersebut bukanlah cacat baginya.

Sebagaimana orang yang memiliki banyak ijazah atau sanad yang tinggi, sangat mungkin tidak memiliki pemahaman dirayah yang mendalam.

Dari gerbang manapun kita memasuki kota ilmu, maka kita akan sampai kepadanya.

Dikatakan: “Ilmu ibarat sebuah kota yang memiliki dua gerbang, siapa saja yang masuk dari salah satu gerbangnya, maka ia sampai.”

Gerbang pertama adalah riwayah dan gerbang kedua adalah dirayah.

Bila kita ingin masuk melalui gerbang riwayah, maka perhatikanlah sanadnya, ambillah dari orang yang paling tsiqah dan paling tinggi sanadnya, karena demikianlah sunnahnya.

Namun, bila kita ingin masuk dari gerbang dirayah, maka perhatikanlah pemahamannya. Carilah yang paling mutqin di antara mereka, tanpa perlu melihat ijazah atau sanadnya.

Sungguh tidak tercela siapa saja yang mencari salah satu di antara keduanya. Namun, bila ia memasuki kota ilmu melalui dua gerbangnya, maka ia akan mendapatkan segalanya.

Maka, tidak elok mencela “perburuan sanad”, karena ia merupakan salah satu gerbang ilmu. Sebagaimana tidak layak bagi seseorang berbangga-bangga dengan sanad dan ijazah yang dimilikinya. Sesunguhnya Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:

لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرَّوِايَةِ ، إِنَّمَا الْعِلْمُ الْخَشْيَةُ

Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayah, sesungguhnya hakikat ilmu adalah al-khasy-yah (rasa takut kepada Allaah).

Pagi di Depok

22 November 2017

Laili Al-Fadhli

➖➖➖➖➖

t.me/online_tajwid

t.me/bekalakhirat

➖➖➖➖➖

Leave a comment