Taqlid Madzhab

Ada sebagian orang yang masih melarang dengan keras taqlid dalam urusan fiqih. Namun, bisa jadi dia sendiri sedang taqlid dalam urusan hadits. Maksudnya bagaimana?

Maksudnya dalam persoalan menentukan kesahahihan dan kedhaifan satu hadits.

Kita lihat ada sebagian orang hari ini yang hanya menerima penelitian dari salah satu atau beberapa Syaikh tertentu saja. Bila menurut Syaikh tersebut shahih, maka mesti diamalkan. Sedangkan bila menurut Syaikh tersebut dhaif, maka tidak boleh diamalkan.

Padahal, sebagaimana fiqih, menentukan keshahihan atau kedhaifan satu hadits termasuk ranah ijtihad yang kadang atau bahkan seringkali ditemukan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para Ulama dan Fuqaha.

Makanya, kita akan sering menemukan pertanyaan, “Mengikuti madzhab atau hadits shahih..?”

Pertanyaan tersebut keliru. Karena madzhab melandasi pendapatnya dari hadits-hadits yang shahih. Yaitu yang shahih menurut para Ulama madzhab tersebut. Bila kemudian ada perbedaan dalam menentukan status haditsnya dengan Ulama yang lain, tidak lantas kita langsung memvonis bahwa landasan madzhab adalah hadits dhaif dan begitu saja ditinggalkan, bahkan disalahkan. Iya, mungkin hadits tersebut dhaif menurut Syaikh kita. Tapi, shahih dan bisa diamalkan menurut para Ulama madzhab tersebut.

Ini baru membahas persoalan perbedaan menentukan status keshahihan hadits. Belum lagi bila kita berbicara tentang urutan dalam mengambil sebuah dalil. Yang disepakati para Ulama adalah urutan pertama Al-Quran, dan urutan yang kedua adalah As-Sunnah. Dimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam menentukan keshahihan haditsnya pun para Ulama berbeda pendapat.

Lalu, bagaimana dengan urutan berikutnya? Juga terutama bila terdapat “pertentangan” antara dalil yang ada. Manakah yang didahulukan?

Dari sinilah lahir ushul fiqih. Secara sederhana ushul fiqih adalah cara pandang para Ulama dalam berinteraksi dengan dalil. Satu cara pandang melahirkan satu madzhab. Lahirlah Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, dan Zhahiriy, serta madzhab-madzhab lain yang pendapat-pendapatnya tidak terkodifikasi dengan sempurna. Namun sebagian pendapatnya masih kita temukan.

Kemudian, satu cara pandang yang sama, juga seringkali melahirkan hasil penelitian yang berbeda. Makanya, dalam satu madzhab kita dapat menemukan pendapat yang berbeda antara Imam Madzhab dan para Ulama Mujtahid Madzhab, padahal mereka menggunakan cara pandang yang sama. Para Ulama generasi berikutnya kemudian meneliti mana pendapat yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat yang ada, dengan cara pandang madzhabnya.

Akhirnya, urusan fiqih madzhab bukan sekadar pertanyaan: “Hadits shahih atau pendapat madzhab..?” Namun jauh lebih kompleks daripada pertanyaan tersebut. Sehingga orang yang tidak memahami ushul madzhab seringkali salah paham terhadap pendapat yang diambil para Ulama madzhab tersebut. Karena cara pandangnya saja sudah berbeda.

Pernyataan yang juga menarik untuk dikaji adalah bahwa para Ulama kontemporer yang meneliti keshahihan hadits, tetap harus taqlid dalam urusan rijaal. Bukankah ketika kita meneliti status keshahihan hadits, kita melihat rijaal dari pendapat para Ulama terdahulu?

Tidak salah sekiranya kita melakukan penelitian ulang dari pendapat para Ulama. Namun, jangan sampai kita memaksakan hasil penelitian tersebut kepada orang lain. Karena bukan kita sendirian yang sedang dan telah meneliti ulang. Para Ulama yang berbeda madzhab pun selalu melakukan penelitian untuk memilah dan memilih mana pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran.

Semoga Allaah azza wa jalla senantiasa menganugerahi kelapangan hati dalam menerima perbedaan pendapat di kalangan para Ulama. Aamiin.

Mohon koreksi bila terdapat kekeliruan.

-Laili Al-Fadhli-

Leave a comment