Tajwid atau Tahfizh Dulu?

Beberapa kali kami mendapatkan pertanyaan dari para peserta Online Tajwid, baik via Telegram, WA, atau FB.

wp-image--60038962

Pertanyaan yang juga cukup sering ditanyakan oleh peserta Daurah Tajwid, baik di Bandung atau di Depok.

“Manakah yang diutamakan, tajwid dulu atau tahfizh dulu?”

Membaca Al-Quran dengan tajwid hukumnya fardhu ‘ain. Sekurang-kurangnya adalah sampai bisa membaca surat Al-Fatihah tanpa kesalahan yang mengubah makna. Karena hal tersebut berkaitan dengan rukun shalat, yang menentukan sah atau tidaknya shalat kita.

Sedangkan kewajiban membaca dengan tajwid pada surat-surat yang lain, selain Al-Fatihah, masih berada di bawahnya, namun seseorang tetap wajib berusaha untuk melatih lisannya sampai tidak ada lagi kesalahan yang mengubah makna. Adapun kesempurnaan sifat-sifat huruf dan hukum-hukum tajwid yang bila ditinggalkan tidak mengubah makna, para Ulama sepakat semua itu bukan fardhu ‘ain, kecuali dalam proses periwayatan dan pengambilan sanad. Maka wajib bagi seorang Syaikh memperhatikan bacaan muridnya, mengoreksinya dengan detail, karena ia sedang menyandarkan bacaannya kepada bacaan Rasuulullaahi shallallaahu ‘alayhi wa sallam.

Berkaitan dengan menghafal Al-Quran, maka para Ulama berbeda pendapat, apakah hukumnya fardhu kifayah atau sunnah. Mayoritas Ulama mengatakan hukumnya fardhu kifayah.

Dari perbandingan status keduanya, maka sebetulnya kita sudah bisa mengambil kesimpulan, bahwa membaca Al-Quran dengan tajwid lebih utama daripada memperbanyak hafalan Al-Quran tanpa memperhatikan tajwid, apalagi bila hafalannya sampai mengubah makna. Mengutip perkataan sebagian guru-guru kami, siapa saja yang menghafal Al-Quran tanpa memperhatikan tajwid, terutama bila sampai mengubah makna, maka sejatinya ia tidaklah menghafal Al-Quran. Hafalannya bukanlah Al-Quran. Yang ia baca pun bukan Al-Quran. Maka perhatikanlah hal ini. Kalaupun belum bisa menyempurnakan bacaan secara detail, minimal berusaha agar bacaan dan hafalannya tidak sampai mengubah makna Al-Quran itu sendiri.

Namun demikian, memulai menghafal Al-Quran tidak mesti menunggu bacaan kita sempurna. Yang terpenting adalah tidak meninggalkan pembelajaran tajwid. Selama kita menekuni tajwid, mendatangi halaqah tahsin secara rutin, maka tidaklah terlarang untuk menghafal, walaupun masih banyak kesalahan.

Adapun yang keliru, adalah bila seseorang sibuk menghafal, dan bersamaan dengan itu ia tidak menekuni tajwid. Tidak memiliki waktu khusus untuk talaqqi dan musyafahah dalam majlis tahsin secara rutin. Ini sangat membahayakan. Apalagi bila ia tidak memahami bahasa Arab. Potensi rusaknya jauh lebih besar daripada maslahatnya.

Lebih dari itu, ada hal yang juga mesti kita pahami bersama. Bahwa ada kewajiban yang lebih tinggi daripada tajwid. Adalah tafhiimul Quran. Memahami makna Al-Quran.

Memahami makna dan kandungan Al-Quran lebih dituntut bagi seorang muslim mukallaf. Karena Al-Quran diturunkan untuk dibaca, ditadabburi, dan diamalkan.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mentadabburi dan mengamalkan Al-Quran bila ia tidak memahami isinya?

Lihatlah generasi Sahabat. Mereka tidaklah menambah hafalan Al-Quran kecuali bila telah memahami isi kandungan Al-Quran yang telah dihafalnya. Mereka bersabar menghafal Al-Quran sepuluh ayat – sepuluh ayat, tidak tergesa untuk menambah hafalannya. Yang terpenting mereka mutqin pada apa yang telah dihafalnya, memahami kandungannya, dan bisa diamalkan.

Maka, bagi muslim mukallaf, orientasi terhadap Al-Quran mesti berubah. Bukan sekadar tajwid dan tahfizhnya saja. Ia harus bisa melangkah lebih jauh lagi menuju tafhim.

Sehingga, bila ia memiliki halaqah tahsin dan tahfizh sepekan sekali, maka minimal ia harus memiliki halaqah tafhim sepekan dua kali. Mengapa? Karena kewajiban memiliki pemahaman lebih tinggi daripada kewajiban tajwid dan tahfizh.

Lalu, langkah apa yang mesti diambil untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap Al-Quran?

Setidaknya ada 4 ilmu yang mesti diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang komprehensif:

1. Bahasa Arab,

2. Ulumul Quran,

3. Tafsir, dan

4. Hadits.

Namun, tentu tidak semua orang dapat meraih semua itu. Karena aktivitas dan kesibukan setiap orang pasti berbeda.

Bila demikian, maka pelajarilah ilmu-ilmu praktis yang merupakan pengejawantahan dari Al-Quran dan As-Sunnah, seperti Dasar-Dasar Aqidah, Fiqih (ibadah dan muamalah) yang bisa langsung diamalkan, dan Tazkiyatun Nafs. Semua ini bisa diikuti, bahkan bila mengandalkan waktu senggang sekalipun. Baik melalui ta’lim-ta’lim, kajian online, membaca buku, atau rekaman audio dan video. Perhatikan, bahwa tujuan semua itu adalah amal. Agar kita bisa beramal shalih.

Prioritas tersebut tentu saja berbeda bagi anak-anak yang belum mukallaf. Maka bagi mereka, tajwid dan tahfizh menjadi prioritas. Bahkan bagi sebagian besar anak-anak memiliki daya hafal luar biasa, tahfizh bisa diprioritaskan, yang penting hafalannya tidak mengubah makna, walaupun tajwidnya belum sempurna. Adapun tajwidnya bisa menyusul saat ia telah memahami sistem koreksi dan pemahaman atas teori dasar tajwid.

Semoga dengan ini kita bisa lebih memperhatikan kembali prioritas dalam aktivitas kita. Karena sesungguhnya yang dituntut dari kita atas interaksi dengan Al-Quran adalah amal. Sedangkan amalan hati lebih penting daripada amalan fisik.

Wallaahu a’lam.

Laili Al-Fadhli

Leave a comment